Hukum adat



Yang berkehendak kepada dicoba-coba ialah hukum adat. Setelah dicoba-coba ratusan kali, ribuan kali dan sebagainya, begitu juga yang terjadi. Dan setelah diperhati-hatikan begitu yang terjadi. Seperti misalnya, api itu membakar. Dari dahulu hinggalah sekarang, api itu kita dapati tetap membakar. Sudah begitu adatnya. Tidak pernah kita lihat yang api tidak membakar. Dan yang menetapkan api itu membakar bukan akal tetapi adat. Bukan juga syarak.

Kita tidak jumpa di dalam Quran dan hadis, nas yang mengatakan bahwa api wajib membakar. Syarak tidak mengatakan demikian. Apa yang kita dapati di dalam syariat, tiap suatu yang ada ini tidak bisa memberi bekas melainkan ALLAH SWT. Sebab itu, dari segi syariat, api tidak bisa memberi kesan bakar kalau tidak dengan izin ALLAH SWT. Jadi, dari segi syariat, bukan api itu yang menyebabkan terbakar. Ia hanya menjadi sebab saja. Yaitu, sebab terbakar itu karena api. Sudah demikian ALLAH hendak jadikan sesuatu itu; mesti ada sebab-sebabnya.

Tetapi, pada adat, api itu pasti membakar. Sudah puluhan malah ribuan tahun dapat disaksikan bahwa api itu pasti membakar. Yang menetapkan ini ialah adat, bukan akal dan bukan juga syariat. Kalaulah akal yang menetapkan api itu pasti membakar, tentu ia dapat disalahkan karena di dalam sejarah, kita telah saksikan bahwa Nabi Ibrahim yang dilontarkan ke dalam api yang panas membara yang disediakan oleh Namrud dan rakyatnya, tidak pun hangus. Malah, yang dirasakan oleh Nabi Ibrahim adalah sejuk dan dingin saja. Jadi, tidak tepatlah kalau akal mengatakan yang setiap api itu membakar. Lebih-lebih lagi pada zaman ini, kita dapat saksikan ada orang bisa berjalan di atas api, seperti dilakukan oleh orang-orang beragama hindu dan buddha.

Artinya, kita dapat saksikan bahwa api itu tidak membakar dalam dua keadaan. Pertama, dalam riwayat Nabi Ibrahim a.s., api tidak membakarnya dengan kekuasaan ALLAH SWT sebagai limpahan rahmatNya ke atas baginda. Kedua, orang-orang beragama hindu dan buddha dapat berjalan di atas api yang tidak membakar, secara istidraj atau secara penipuan daripada syaitan.

Dengan ini menunjukkan bukan api yang memberi bekas tetapi adat telah menghukum atau menetapkan yang setiap api itu membakar. Sebab, sudah ribuan tahun diperhatikan demikian, serta sudah menjadi kebiasaan dan pengalaman manusia, setiap api itu membakar. Dalam hal ini, adat yang menghukumnya.

Jadi, kembali kita kepada penetapan hukum dari-pada akal tadi, ia tidak perlu dicoba-coba. Akal menetapkan sesuatu itu berlaku bukan hasil daripada pengalaman atau kajian manusia, tetapi secara spontan.

Kemudian, apa yang dapat kita pahamkan lagi dari-pada hukum akal ini ialah, tidak ada hubungan di antara hukum yang telah ditetapkan oleh akal dengan perbuatan seseorang mukallaf. Yang menetapkan sesuatu perkara itu ada hubungan dengan perbuatan mukallaf ialah syarak.

Misalnya, apabila seorang mukallaf hendak makan, kita dapat perhatikan bagaimana syariat menetapkannya. Dalam hal berpakaian juga, syarak menetapkan hukum-hukumnya. Begitu juga dalam perbuatan bergaul, syarak ada menetapkan hukum-hukumnya.

Jadi, kalau sesuatu hukum itu ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf, ia bukan ditetapkan oleh akal atau adat, tetapi oleh syarak. Sebab, syariat atau undang-undang daripada ALLAH yang disampaikan kepada Rasulullah SAW itu, merangkumi segala perbuatan yang berlaku kepada mukallaf. Ia mengatur seluruh perbuatan mukallaf, daripada perbuatan yang kecil hinggalah kepada perbuatan yang sebesar-besarnya. Hatta perbuatan gerak hati seseorang itu pun diatur oleh syariat.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Tinggalkan komen