Hukum bersetubuh dengan isteri sedang haid

Hukum menjimak isteri sedang haid

Hak-hak seorang suami tatkala dilaksanakan oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka akan berbuah pahala. Namun tentunya hak-hak tersebut tidak melanggar hak-hak Allah. Misalnya salah satu hak suami terhadap istri adalah melayaninya ditempat tidur (jima’). Bahkan jika isteri tidak mematuhinya, malaikat pun akan ikut marah terhadap sang istri yang menolak suaminya tersebut.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Jika seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu istrinya enggan sehingga suami tidur dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi.” (HR Muslim (2/1060))

Namun disuatu kondisi, sang istri memang tidak boleh melayani suami yaitu saat haidh. Butuh pengertian yang didasari ilmu bagi para suami agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan fatal. Mengapa demikian? Karena jima’ dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)

“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)

Sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam,

“Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302)

Sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menjelaskan bahwa jima’ saat haidh hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Syaikh Utsaimin rahimahullah bahwa seorang suami haram menggauli istrinya saat haid dan haram pula bagi istrinya melayaninya. (Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah)

Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi suami untuk bercumbu dengan istrinya tanpa jima’. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa’di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima’ boleh.

Dari Aisyah radhiyallahu’anha berkata “Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187))

Dari Maimunah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang.” (HR. Bukhari:64)

Batas Waktu Menjauhi Wanita Haidh

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222)

“Sampai mereka suci‘ artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa’di jilid 1,hal 358)

Menurut Al-Lajnah ad Daimah, ada 2 syarat kehalalan suami boleh berjima’ dengan istri (yang haid): terputusnya darah haid dan mandi suci. Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah, yang artinya: “janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Qs Al Baqarah:222

Dalam Tafsir As Sa’di jilid 1 hal 358, “Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” maksudnya harus meninggalkan mencumbu bagian yang dekat kemaluan yaitu bagian diantara pusar dan lutut, sebagaimana Nabi melakukannya, bila beliau mencumbu istrinya pada saat istrinya itu sedang haidh beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbunya. Sedangkan “Apabila mereka telah suci ” maksudnya sang istri telah mandi.

Bagaimana jika jima’ dengan istri yang haid karena tidak sengaja atau tidak tahu tentang hukumnya?

Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 mengatakan “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan wanita yang sedang haid melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, misalnya jika ia melaksanakannya karena lupa atau karena tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu bahwa hal tersebut haram atau karena dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarah. Namun jika ia mencampuri wanita yang sedang haid dengan sengaja dan tahu bahwa dia sedang haid dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii rahimahullah bahwa perbuatannya adalah dosa besar,dan wajib bertaubat.’

Jika sudah terlanjur mencampuri istrinya dalam keadaan haid, ada dua pendapat :

Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia wajib membayar tebusan (kafarah). Pendapat ini diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi. Syaikh Abdul “Azhim bin Badawi dalam kitabnya Al Wajiiz fi fiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang mewajibkan membayar kafarah.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu:

Dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah 1 dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, Aunul Ma’bud I:445 no 261, Nasa’i I :153, Ibnu Majah I:210 no:640)
Sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak mewajibkan membayar tebusan. Sebagimana pendapat yang diambil oleh madzab Hanafiyyah dan yang dikuatkan Syaikh Musthofa al-Adawi bahwa disunnahkan kafarat atas orang yang menggauli istrinya pada saat haid. Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat mengenai keshahihan dalil-dalilnya.

Berapakah besar Kafarrah yang harus Dibayar?

Ada beberapa pendapat para ulama tentang masalah ini:

Ada perbedaan jumlah kafarrah jika jima’ dilakukan diawal atau akhir waktu haidh

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu secara mauquf,ia berkata,’Jika ia bercampur dengan isterinya diawal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah 1 dinar dan jika di akhir keluarnya darah maka setengah dinar.’ (Abu Daud no:238 dan “Aunul Ma’bud I:249 no 262)

Pendapat inilah yang diambil oleh madzab Imam Syafii
Menurut Imam Ahmad bahwa jika darah haid berwarna merah maka ukurannya adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka ukurannya setengah dinar.(Ma’alim Sunan karya Al Khithabi (1/181).
Menurut syaikh Albani rahimahullah, kafarah dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya.

Catatan tambahan: 1 dinar = 4,25 gr emas, adapun nilai dinar disesuaikan dengan mata uang setempat.

Apakah Kafarrah juga dibayarkan oleh isteri?

Jika isteri melayaninya dengan sukarela maka ia harus membayar kaffarah, tetapi jika ia melakukan karena paksaan maka ia tidak harus membayar tebusan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

“Umatku dimaafkan karena salah,lupa dan apa-apa yang dipaksakan atasnya.”

(Lihat Az-zakah wa Tathbiqatihan hal 91)

Semoga dengan pembahasan yang sedikit ini dapat menambah pengetahuan wanita tentang hal yang penting namun terkadang dianggap tabu. Jika memang sang suami belum mempunyai pemahaman mengenai hal tersebut, hendaklah sang istri yang berusaha menjelaskannya dengan semampunya agar tidak terjerumus kedalam kekhilafan. Ingatlah wahai saudariku, tunaikanlah hak Allah terlebih dahulu daripada hak suamimu.

Wallahu a’lam.

***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Hamzah Galuh Pramita
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Rujukan:

Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah, Khalid al-Husainan (terj),Darul Haq
Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah Fi Fiqhil Kitaab wa Sunnatil Muthoharah, Syaikh Husein bin “Audah Al “Uwaisah
Al Wajiiz fifiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz (terj),Pustaka As Sunnah
Isyarat fi Ahkamil Kaffart, Prof Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-thayyar (Terj),Pustaka Al Sofwa
Tafsir As Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di (terj),Pustaka Sahifa

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

9 Responses to Hukum bersetubuh dengan isteri sedang haid

  1. ariel berkata:

    mau nanya..suami ingin bersetubuh tpi istri nya sedang haid suami memaksa dan marah kata suami tidak apa” padahal suami tidak tau hukum nya..apakah dosa itu bisa di ampuni

    • jalanakhirat berkata:

      Asalamualaikum

      Ariel,

      Mengadakan hubungan seks atau berjimak dengan isteri ketika didatangi haid adalah haram dan termasuk di antara dosa-dosa besar. Hukum ini bagi suami yang melakukannya secara sengaja, mengikut kehendak hatinya, nafsunya, perasaanya dan tahu hukum haramnya. Sekiranya dia menghalalkan perbuatan menyetubuhi isterinya sedang haid, maka dia jatuh kepada kufur. Firman Allah yang berbunyi :

      “Dan mereka bertanya kepadamu (Wahai Muhammad), mengenai (hukum) haid. katakanlah: “Darah haid itu satu benda yang (menjijikkan dan) mendatangkan mudarat”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh Dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu, dan janganlah kamu hampiri mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci. kemudian apabila mereka sudah bersuci maka datangilah mereka menurut jalan yang diperintahkan oleh Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat, dan mengasihi orang-orang yang sentiasa mensucikan diri.” (Al-Baqarah : 222)

      Bagi suami yang melakukan persetubuhan dengan isterinya ketika haid perlu bertaubat, beristiqfar dan membayar kaffarah dengan menyedekahkan satu dinar atau setengah dinar.

      Menurut Imam Al Ghazali mengatakan bahawa : “Melakukan hubungan seks sebelum isteri melaksanakan mandi hadas (selepas haid terhenti) boleh mewariskan penyakit kusta ke atas anak yang lahir hasil hubungan seks tersebut.”

      Wasalam.

  2. muh romy berkata:

    Assalamu’alaikum Wr Wb.
    ada peristiwa perjodohan tapi sang perempuan tidak mencintainya, selang waktu sang suami mengajak istrinya untuk melayaninya tapi sang istri mengaku haid (berbohong) agar tidak di gaulinya, hingga seterusnya sang istri selalu berbohong begitu hingga ceraipun berlangsung.

    1. pertanyaan saya, apa hukumnya istri yang begitu ?

    padahal perjodohan ada yang tidak memperbolehkannya.
    terimakasih mohon bantuannya.
    Wassalamu’alaikum Wr Wb

  3. Hamba berkata:

    Bagaimana pula kalau suami yg tidak tahu isteriny masih belum suci tp dan telah melakukanny kerana isteri tidak sanggup utk menolak dan belum tahu hukumny…mohon penjelasan.

  4. supri berkata:

    bolehkah bersetubuh tanpa melakukan jima’ saat istri sedang haid???

  5. lin berkata:

    assalamualaikum..sy ingn brtanya,adakah saya berdosa mnolak kemahuan suami saya untk menyetubuhi saya ketika haid?dia memaksa tetapi saya tetap x mahu,kerana haram brsetubuh ktika haid.

  6. haryanto berkata:

    Asalamualaikum maf seblom na
    Sayah mau tana kalw kita tau na cuma g bole bukan’na haram gimana ukum na

    Dan apa bila membayar dosah itu harus dgan amal dan berapa saya masih kurang pahm

  7. lisna berkata:

    Assalamu’alaikum mau bertanya bagaimana jika datang haidnya tidak teratur
    Misalkan di karenakan hormon dari obat KB jdi haidnya tidak teratur kadang ada kadang tidak, di waktu berjima tidak ada haid tpi pas setelah berjima darahnya keluar lagi,itu hukumnya gimana ya?

  8. N berkata:

    Assalamualaikum. Artikelnya sudah bagus tapi lebih bagus kalau gambar yang dipakai tidak ada aurat yang terdedah. Hanya sekadar nasihat daripada hamba Allah 🙂

Tinggalkan Jawapan kepada muh romy Batal balasan